Rabu, 10 Desember 2025

Tasawuf Sebagai Media Meraih Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual


BAB I

PENDAHULUAN 

A.    Latar Belakang

Tasawuf merupakan ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana cara untuk menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membersihkan dhohir, dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Dalam bahasan ilmu tasawuf terdapat bahasan mengenai Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ), Kecerdasan Spiritual (SQ). Dalam pembicaraan tentang ketiga bentuk kecerdasan itu, terkadang mucul asumsi bahwa kecerdasan emosional dan spiritual lebih penting dari pada kecerdasaan intelektual. Namun, pada dasarnya ketiga bentuk kecerdasan pada manusia tersebut saling berhubungan. Seseorang yang memepelajari ilmu tasawuf haruslah dapat menjadikan tasawuf sebagai media untuk meraih kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Berikut akan diuraikan bagaimana pengertian dan hubungan ketiga kecerdasaan tersebut dalam ilmu tasawuf. 

B.     Rumusan Masalah

1.    Bagaimana Tasawuf  Sebagai Media Meraih Kecerdasan Intelektual?

2.    Bagaimana Tasawuf Sebagai Media Meraih Kecerdasan Emosional?

3.    Bagaimana Tasawuf Sebagai Media Meraih Kecerdasan Spiritual? 

C.    Tujuan

1.    Untuk Mengetahui Tasawuf  Sebagai Media Meraih Kecerdasan Intelektual.

2.    Untuk Mengetahui Tasawuf  Sebagai Media Meraih Kecerdasan Emosional.

3.    Untuk Mengetahui Tasawuf  Sebagai Media Meraih Kecerdasan Spiritual.

BAB II

PEMBAHASAN 

A.    Tasawuf  Sebagai Media Meraih Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan intelektual (intelligence quotient atau disingkat IQ) adalah istilah umum yang di gunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan seperti, kemampuam menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitanya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat di ukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis. Pendidikan merupakan pokok dalam penyusunan formula untuk meningkatkan kecerdasan intelektual selain pendidikan emosional dan spiritual juga sangat berpengaruh dengan tingkat optimal kecerdasan, ketika intelektualitas manusia mampu bekerja mengukur tingkat kecepatan, mengukur hal yang baru, menyimpan, dan mengingat kembali informasi yang ada sehingga menjadikan manusia yang terampilan dan profesional. Ibnu manzhur mengategorikan istilah kecerdasan intelektual (Inteligensi), akal pikiran, menahan, mencegah, membedakan, tambang pengikat, ganti rugi diartikan ‘Aql (secara harfiyah). ‘Aql juga disamakan dengan al hijr (menahan) diri hawa nafsunya.[1]

Menurut steven J. Stein dan Howard E. Book, kecerdasan intelektual adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. Hal ini berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran, akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika.[2] Sedangkan Binat dan simon mendefinisikan intelegensi atau intelektual sebagai suatu kemampuan yang terdiri dari tiga komponen yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan apabila tindakan tersebut telah dilakukan, dan kemampan untuk mengkritik diri sendiri. [3]

Al-quran juga mengandung banyak istilah yang mewakili kecerdasan intelektual. Salah satunya adalah “Ulil al-Bab” yang mengandung makna lebih dari sekedar memiliki pengetahuan. Istilah ini menunjukkan beragamnya akal dalam konteks menarik maknanya, seperti yang diungkapkan dalam ayat berikut : 

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَآءُ وَمَنْ يُّؤْتَ اْلحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَمَا يَذَّكَّرُ اِلّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Artinya: “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al- Baqarah: 269).

Dalam penafisran dari beberapa tokoh seperti Ibnu Katsir,   Sayyid Quthb dan Buya Hamka, “hikmah” dalam ayat tersebut diartikan sebagai pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur’an dan Sunnah, pengetahuan tentang nasikh (ayat yang mensyariatkan) dan mansukh (ayat yang disebut hukumnya), serta pemahaman tentang masalah-masalah dalam agama. Tokoh-tokoh tersebur memberikan interprestasi yang beragam terkait dengan makna “hikmah”, beebrapa diantaranya  mengartikan sebagai pengetahuan tentang Al-Qur’an, pemahaman tentang agama, takut kepada Allah, akal, dan pengetahuan yang mendalam. Dalam tafsiran mereka, tetapi juga pemahaman mendalam tentang agama, pengetahuan tentang kebenaran dan keadilan, serta kemampuan untuk mengambil pelajaran dari ajaran Allah. Tokoh-tokoh tersebut mengaitkan kecerdasan intelektual dengan keberadaan akal manusia yang digunakan untuk memahami dan mengambil manfaat dari ajaran Allah. Kecerdasan intelektual tidak hanya sebatas pengetahuan, tetapi juga melibatkan pengamalan dan penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.[4]

Tasawuf memberikan berbagai informasi yang kebanyakan mengenai ajaran-ajaran islam, yang mana ajaran tersebut biasa menjadikan media untuk kita dalam memperoleh kecerdasan intelektual. Ajaran-ajaran islam yang disampaikan didalam tasawuf, yakni antara lain :[5]

1.         Tasawuf Aqidah merupakan lingkup pembicaraan tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (hal-hal yang gaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap tuhan, adanya malaikat, surga, neraka, dan sebagainya. Karena setiap sufi sangat menekankan kehidupan yang bahagia diakhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan surga dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka.

2.         Tasawuf Ibadah merupakan tasawuf yang menekankan pembicaraanya dalam masalah rahasia ibadah, sehingga didalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia thaharah, rahasia sholat, rahasia zakat, rahasia puasa, rahasia haji,  dan sebagainya.

3.         Tasawuf Akhlak merupakan tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga didalamnya dibahas beberapa masalah akhlak, antara lain: bertaubat, bersyukur, bersabar, bertawakal, dan bersikap ikhlas. 

B.     Tasawuf  Sebagai Media Meraih Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional, menurut Daniel Goleman adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Kesadaraan diri berarti mengetahui apa yang kita rasakaan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengaturan diri ialah menangani emosi sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas. Motivasi berarti menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran. Empati adalah merasakan yang apa dirasakan oleh orang lain. Kemudian keterampilan sosial adalah menangani emosi dengan baik ketika berhubumgam dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial.[6]

Dilihat dari perspektif sufistik unsur-unsur kecerdasan emosional itu juga ada dalam tasawuf. Misalnya kesadaran dari dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan sabar. Lalu motivasi dalam tasawuf banyak kesamannya dengan raja’ (harapan atau optimism). Kemudian mengenai empati dalam tasawuf ada itsar. Lalu tentang keterampilan sosial dalam tasawuf ada konsep syaja’ah. Dengan demikian, unsur-unsur kecerdasan emosional juga ada dalam tasawuf, sehingga orang yang mengamalkan tasawuf dengan baik, maka ia juga cerdas secara emosional. Bukan suatu hal yang berlebihan jika ita mengatakan bahwa para sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaigus dokter jiwa. Kemudian jika kita ingin menguasai emosional kita maka kita harus menyentuh apa yang dinamakan ilmu tasawuf hal ini cukup beralasan mengingat dalam subtansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar mengenai jiwa manusia. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang selalu bahagia dalam dirinya karena ia dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan semua potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawanya pada kebahagiaan dirinya dan orang lain.[7] 

Sedangkan golongan yang kurang sehat mentalnya sangatlah luas, mulai yang paling ringan sampai yang paling berat, dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Gejala-gejalaa umum yang tergolong kurang sehat dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain : perasaan, pikiran, kelakuan, dan kesehatan. Berbagai penyakit tersebut akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yaitu hati yang jauh dari tuhannya. Harus diakui, jiwa manusia sering sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah SWT. Bagi orang yang dekat dengan tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya adalah pribadi-pribadi yang tenang, dan prilakuannya pun akan menampakkan perilaku atau akhlak-akhlak yang terpuji. Semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan tuhannya.[8]

Selain itu untuk meningkatkan kecerdasan emosional manusia hendaknya dilaksanakan dengan penuh kasih sayang. Untuk itu perlu dilakukan konsep hanan dan Allah akan memberikan kasih sayang dan kesucian dari sisi-Nya. Hanan menurut mufassirin berarti kasih sayang, cinta kepada manusia. Atau cinta kasih seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini terkait dalam meningkatkan kecerdasan emosional karena kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi mereka akan sangat dipengaruhi oleh proses yang terjadi.[9] Selain melalui proses kasih sayang maka untuk mengendalikan emosi diperlukan upaya mensucikan diri dari segala yang menghalangi berlangsungnya proses tersebut. Sesuatu yang menghalangi manusia dalam proses meningkatkan kecerdasan emosional menurut Al-Qur’an diantaranya adalah penyucian dari syirik, dosa mengikuti perilaku yang mengikuti syetan, dan lain sebagainya yang menyebabkan sebuah do’a tertolak.[10] Oleh karena itu berdasarkan pada surat QS. Maryam ayat 12 dan 13 yaitu :

 

يَيَحْيَ خُذِ الْكِتَبِ بِقُوَّةٍ وَاَتَيْنَهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا

Artinya: “Hai yahya, ambilah Al kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”. (QS. Maryam:12).

وَّحَنَا نًامِّنْ لَّدُنَّا وَزَكَوةً وَكَانَ تَقِيًّا

Artinya: “Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi kami dan kesucian (dan dosa). Dan ia adalah yang bertaqwa”. (QS. Maryam: 13). 

Maksudnya jika seseorang ingin meningkatkan EQ-nya maka ia harus melalui proses Tazkiyah (penyucian diri). Yang dimaksud dengan Tazkiyah adalah mensucikan diri dari segala macam bentuk kotoran, penyimpangan, dan masa lalu yang negatif. Penempatan kata Hikmah sebelum Tazkiyah pada ayat diatas dapat dipahami bahwa hikmah dalam arti akal serta menggunakannya dalam bentuk yang terbaik adalah alat yang memungkinkan manusia mensucikan dirinya. Dengan kata lain, penyucian diri adalah buah dari akal dan akal adaalah hikmah.[11]

Jika telah melewati proses penyucian diri maka proses selanjutnya yakni konsep taqwa. Taqwa artinya tunduk patuh terhadap peraturan yang telah ditentukan (baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan). Kesadaran akan mematuhi segala peraturan dan tidak melanggar peraturan tersebut adalah penting peranannya, apalagi takwa ini disandarkan pada allah semata, sehingga seorang manusia akan merasakan ketenangan, kedamaian karena ia akan selalu merasa dekat dengan Allah.[12]

 

C.    Tasawuf  Sebagai Media Meraih Kecerdasan Spiritual

Secara terminologi kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan pokok yang dengannya dapat memecahkan masalah-masalah makna dan nilai menempatkan tindakan dalam konteks yang lebih luas, kaya, dan bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan sebuah konsep yang berhubungan denganbagaimana seseorang dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas kehidupan spiritual.[13] Spiritual quotient berasal dari kata spiritual dan quotient. Spiritual berarti batin, rohani, keagamaan. Sedangkan quotient atau kecerdasan berarti sempurnanya perkembangan akal budi, kepandaian, dan ketajaman pikiran.[14] Adapun fungsi kecerdasan spiritual, antara lain :[15]

a.         Pembinaan dan pendidikn akhlak

b.         Mendidik hati dan budi pekerti

c.         Membimbing kita untuk meraih hidup bahagia

d.         Untuk mengsungsikan IQ dan EQ secara efektif.

Sedangkan kecerdasan spiritual, menurut Marsha Sinetar adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan evektifitas yang terinspirasi, the isness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian kita semua menjadi bagian. Orang yang tingkat kecerdasannya spiritualnya tinggi adalah orang yang mengenal dirinya lebih baik. Ciri kecerdasan spiritual selanjutnya ialah mampu memanfatkan dan mentransendenkan kesulitan atau penderitaan. Dilihat dari perspektif sufistik ciri-ciri kecerdasan spiritual itu juga terdapat pada tasawuf. Misalnya motif yang dalam, kecerdasan yang tinggi, dan sikap responsif terhadap diri menurut tasawuf dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah.[16]

Husen Nasr dalam Islam and the Pligh of Modern Man menyatakan bahwa akibat masyarakat moderen yang mendewasakan ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerek menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang bedasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler. Maka dalam hal ini tasawuf ingin memberikan solusi terhadap problema tersebut, masyarakat yang lupa akan agama sesungguhnya mereka telah kehilangan visi kehilahangan yang mana hal ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni kehampaan spiritual. Abu al-wafa al-Taftazani dalam The Role Sufisme mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat moderen. Pertama, karena takut kehilangan apa yang dimiliki. Kedua, timbulnya rasa khawatir terhadap masa depan yang tidak disukai. Ketiga, disebabkan oleh rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan spiritual. Keempat, banyak melakukan dosa dan pelanggaran. Bagi at-Taftazani semua itu muncul dalam diri seseorang karena hilangnya keimanan dalam hati, menyembah kepada selain Allah SWT.[17]

 Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan- keadaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir, karena kehidupan lahir hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada pada dirinya yaitu akal, syahwat, dan nafsu amarah. Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia, seperti melakukan intropeksi baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertical maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik. Selalu berdzikir kepada Allah SWT. Sebagai sumber gerak, sumber kenormatifan, sumber motivasi, dan sumber nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Dengan demikian, seseorang bisa selalu berada di atas Sunnatullah dan Shirath al-mustaqim.[18]

Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat sebagai corak batin dalam ilmu fiqh. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusuk dalam menjalani suatu spiritual kepada Allah. Bahkan ilmu ini mampu  menumbuhkan kesiapan manusia dalam melaksanakan hukum-hukum fiqih karena dalam pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.[19] Kemudian dalam hal lain yaitu dalam kondisi spiritual sampai mencapai tingkat ma'rifah, seseorang akan merasa tak berdaya di hadapan Tuhan-Nya, kecuali ia hanya mampu menyaksikannya.[20] Kemudian dalam pembahasan dalam konteks lain yaitu menyentuh dzaug (rasa rohaniah). Sebagai contoh ilmu tauhid menerangkan bahwa allah bersifat sama’ (mendengar), bassar (melihat), qudrah (kuasa), dan sebagainya. Namun ilmu kalam ini tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihat. Lalu bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatau yang tercipta merupakan pengaruh qudrah (kekuasaan) Allah.

Allah telah memperingatkan beberapa kali bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَاقَلِيلٌ وَاْلأَخِرَةُخَيْرٌلِّمَنِ اتَّقَى وَلاَتُظْلَمُونَ فَتِيلاً

Artinya:  “Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”. (QS. An-Nisa’: 77).

Mencintai Tuhan berarti sepenuhnya terlibat dengan dunia yang Tuhan ciptakan bukan lari darinya. Pada hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat untuk manusia mengabdi, ia adalah tempat ujian untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan alat ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang netral.[21]

Seringkali kita melakukan perenungan tentang kehidupan diri kita. Dalam perenungan itu, merasa akankah gejala kehidupan sosial kita yang kian hari kian terpuruk, bahkan kita telah terjebak ke dalam kondisi yang sangat kritis secara mental, moral dan spiritual? Mungkin kita tak sempat merenungkan itu semua, karena kita senantiasa sibuk dengan rutinitas yang berlarut dan memacu kita untuk berlomba dengan bayang-bayang semu yang tak akan pernah terkejar. Mungkin kita salah dalam cara pandang kita tentang diri kita yang menyebabkan kita juga salah menempatkan diri dan akhirnya salah bertindak. Akhirnya pengenalan diri yang salah ini tidak membawa manusia ke puncak kecerdasan spritualnya. Menurut Jalaluddin Rakhmat kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna dalam kehidupan. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk tetap bahagia dalam situasi apapun tanpa tergantung kepada situasinya. "Meminjam istilahnya Tony Buzan (ahli sitologi dari Amerika), kemampuan seseorang untuk berbahagia dalam segala situasi, berhubungan dengan kecerdasan spiritualnya" paparnya. Hanya saja menurut Jalaluddin di Indonesia kecerdasan spiritual lebih sering, diartikan rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid, pokoknya yang menyangkut agama. Jadi kecerdasan spiritual dipahami secara keliru.[22]

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Kecerdasan intelektual (intelligence quotient atau disingkat IQ) adalah istilah umum yang di gunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan seperti, kemampuam menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Tasawuf memberikan berbagai informasi yang kebanyakan mengenai ajaran-ajaran islam, yang mana ajaran tersebut biasa menjadikan media untuk kita dalam memperoleh kecerdasan intelektual. Ajaran-ajaran islam yang disampaikan didalam tasawuf, yaitu : tasawuf aqidah, tasawuf ibadah, dan tasawuf akhlak.

Kecerdasan emosional, menurut Daniel Goleman adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Unsur-unsur kecerdasan emosional juga ada dalam tasawuf, seperti kesadaran dari dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan sabar. Lalu motivasi dalam tasawuf banyak kesamannya dengan raja’ (harapan atau optimism). Kemudian mengenai empati dalam tasawuf ada itsar. Lalu tentang keterampilan sosial dalam tasawuf ada konsep syaja’ah.

Secara terminologi kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan pokok yang dengannya dapat memecahkan masalah-masalah makna dan nilai menempatkan tindakan dalam konteks yang lebih luas, kaya, dan bermakna. Sedangkan Kecerdasan spiritual, menurut Marsha Sinetar adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan evektifitas yang terinspirasi, the isness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian kita semua menjadi bagian. Dilihat dari perspektif sufistik ciri-ciri kecerdasan spiritual itu juga terdapat pada tasawuf. Misalnya motif yang dalam, kecerdasan yang tinggi, dan sikap responsif terhadap diri menurut tasawuf dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah.

B.       Saran

Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, akan tetaapi pada kenyataannya masih ada kekurangan yang perlu kami perbaiki, ntah dari segi pembuatan maupun materi. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan dan pembahasan pada materi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepaannya. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat serta kami harapkan semoga seseorang yang memepelajari ilmu tasawuf dapat menjadikan tasawuf sebagai media untuk meraih kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. (2010).  Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Bloq’s, Evi. (2012, 25 April). Tasawuf. Diakses pada tanggal 13 Maret 2024. dari https://evigojegh.blogspot.com/2012/04/tasawuf.html?m=1.

Echols, Jhon M. dan Hasan Shadily. (2005). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Jaya, Yahya. (1994). Spiritualisasi Islam dalaam Menambah Kembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental. Jakarta: Ruhama.

Katsir, Lihat Ibnu. (1987). Tafsir Qur’an al Adzim. Jilid III. Beirut: Maktabah Ilmiyah.

Mahjudin. (1996). Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakarta Pusat: Kalam Mulia.

Muhammad, Imam Fakhruddin. (1961).  Al Tafsir Al Kabir atau Mafatih Al Ghoib. Bairut-Libanon: Dar Al Kutub Al ‘ilmiyah.

Musawi, Khalil Al dan Kaifa Tatasharruf Bi Hikmah. (1998).  Bagaimana Menjadi Orang Yang Bijaksana: Resep-Resep Mudah dan Sederhana Meraih Hikmah Dalam Kehidupan. Jakarta: Lentera.

Nur’aini dan Hamzah. (2023). Kecerdasan Emosional, Intelektual, Spiritual, Moral dan Sosial Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Educatio. Vol. 9 No. 4. hal. 1786.

Ratnasari, Sri Langgeng dkk. (2022). Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi pada Mahaasiswa di Kota Batam.  NCAF (Proceeding of National Conference on Accounting & Finance), Vol. 4. hal. 442.

Siswanto, Wahyudi. (2010). Membentuk Kecerdasaan Spiritual Anak Pedoman Penting Bagi Orang Tua Dalam Mendidik Anak. Jakarta: Amzah.

Stein, J. Steven. (2002). Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Penerbit Kaifa.

Syukur, Amin. (2002). Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taufik, Pasiak. (2003). Revolusi IQ/EQ/SQ antara Neurosains dan Al-quran. Bandung: Mizan.

Tebba, Sudirman. (2023). Tasawuf Positif. Bogor : Kencana.

 



[1] Pasiak Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ antara Neurosains dan Al-quran, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 193.

[2] Steven J. Stein, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, (Bandung: Penerbit Kaifa, 2002), hal. 17

[3] Sri Langgeng Ratnasari dkk, Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi pada Mahaasiswa di Kota Batam,  NCAF (Proceeding of National Conference on Accounting & Finance), Vol. 4, 2022, hal. 442.

[4] Nur’aini dan Hamzah, Kecerdasan Emosional, Intelektual, Spiritual, Moral dan Sosial Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Educatio, Vol. 9 No. 4, 2023, hal. 1786.

[5] Mahjudin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta Pusat: Kalam Mulia, 1996), hal. 149.

[6] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Bogor : Kencana, 2023), hal. 11-12.

[7] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal. 224.

[8] Ibid. hal. 226.

[9] Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an al Adzim, Jilid III, (Beirut: Maktabah Ilmiyah, 1987), hal. 113.

[10] Imam Fakhruddin Muhammad, Al Tafsir Al Kabir atau Mafatih Al Ghoib, (Bairut-Libanon: Dar Al Kutub Al ‘ilmiyah, 1961), hal. 164.

[11] Khalil Al Musawi dan Kaifa Tatasharruf Bi Hikmah, Bagaimana Menjadi Orang Yang Bijaksana: Resep-Resep Mudah dan Sederhana Meraih Hikmah Dalam Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1998), hal. 23.

[12] Ibid. hal. 26.

[13] Wahyudi Siswanto, Membentuk Kecerdasaan Spiritual Anak Pedoman Penting Bagi Orang Tua Dalam Mendidik Anak, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 10.

[14] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005), hal. 546.

[15] Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalaam Menambah Kembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994), hal 67.

[16] Sudirman Tebba, Op.cit, hal. 19.

[17] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 112.

[18] Ibid, hal. 113.

[19] Rosihan Anwar, Op.cit, hal. 105.

[20] Mahjuddin, Op.cit, hal. 220.

[21] Evi Bloq’s, Tasawuf, https://evigojegh.blogspot.com/2012/04/tasawuf.html?m=1, (Diakses pada tanggal 13 Maret 2024, Pukul 08:49).

[22] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar